DARI DOMPET RAKYAT KE AMPLOP DEWAN



Dulu, pemilihan kepala daerah ibarat drama Pak Saloi. Penuh intrik, bisik-bisik, dan amplop ajaib. Para anggota dewan dikarantina, bukan karena takut virus, tapi takut “tergoda” janji surga dari calon kepala daerah. Rakyat? Hanya bisa menonton dari pagar sambil meraba-raba, siapa yang nanti akan memimpin desa, kota, atau provinsi mereka. Sistem ini dianggap mahal, penuh politik uang. Maka, kita beralih ke one man one vote. 


Namun, one man one vote ternyata bukan solusi, tapi babak baru drama politik. Kali ini rakyat ikut menikmati, eh, maksudnya “terlibat.” Amplop jalan-jalan, janji manis berseliweran, dan pesta demokrasi berubah jadi pesta biaya. Biaya politik melonjak ke level “mahal tak terperi.” Solusinya? Kembali ke sistem lama, katanya. Dewan lagi yang milih. Amplop pun bersorak riang. “Kami kembali ke habitat asli!” 


Presiden Prabowo mengusulkan wacana revolusioner, biarkan DPRD saja yang memilih. Alasan klasik? Biaya. Tapi, seolah lupa sejarah, kita sudah tahu ending ceritanya. Amplop kembali merajalela di ruang-ruang tertutup. Kedaulatan rakyat? Ya sudah, biar parkir dulu. 


Titi Anggraini dari UI menyebut ide ini sebagai “teater amplop jilid dua.” Memang, katanya, biayanya mungkin lebih murah di atas kertas. Tapi politik uang? Jangan khawatir, tetap ada kok, tapi eksklusif untuk politisi. Transparansi? Ah, itu kan konsep absurd buat ruang gelap. 


Dulu, ketika pemilihan oleh DPRD, rakyat protes karena yang terpilih sering kali bukan pilihan mereka. Beberapa kantor DPRD bahkan dirusak. Tapi sekarang, meskipun rakyat memilih langsung, tetap banyak yang golput. Kenapa? Karena calon-calon yang disodorkan partai sering kali lebih mirip “pilihan darurat” ketimbang pemimpin masa depan. 


Titi bilang, yang perlu dibenahi bukan sistemnya, tapi integritas partai politik. Bagaimana rakyat bisa percaya kalau partai masih sibuk dengan urusan internal dan, ya, amplop lagi? 


Titi punya usul menarik, kurangi pemborosan! Katanya, KPU harus berhenti bergaya seperti CEO perusahaan unicorn dengan jet pribadi dan mobil dinas lebih dari satu. Efisiensi itu sederhana, katanya. Kurangi yang tidak penting, dan benahi dana kampanye. Amplop harusnya kembali ke fungsinya semula, tempat menyimpan uang, bukan alat tukar suara. 


Wacana ini menunjukkan satu hal, politik kita tidak pernah lepas dari siklus amplop dan janji. Mau langsung atau tidak langsung, yang jadi masalah bukan sistemnya, tapi orang-orang di dalamnya. Sejarah seolah menertawakan kita. Apa pun sistemnya, ujung-ujungnya tetap dompet yang berbicara. 


Sementara itu, rakyat? Mereka tetap jadi penonton atau sudah tak peduli. "Kak ati kitaklah pe..pe..," (Terserah Kalian, kawan) kata budak Pontianak. 


Penulis : Rosadi Jamani (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama - Kalimantan Barat)



#SAYAINDONESIA

#BerbagiKebaikan

#Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lembaga Swadaya Masyarakat SAYA INDONESIA