NEO KOLONIALISME AS DI ASIA


Masih adakah istilah penjajahan atau kolonialisme di era modern atau serba digital seperti sekarang ini? 

Sekilas tampak tidak, karena dunia terus berkembang dan hubungan antar negara berjalan begitu dinamis. Namun bila diperlihatkan secara seksama, penjajahan gaya baru atau sering disebutneo kolonialisme memang nyata adanya.

Neo kolonialisme lebih sulit dikenali langsung

karena tak melibatkan penjajahan langsung, tetapi dampaknya bisa sangat signifikan dalam membatasi kemerdekaan sebuah negara untuk menentukan perjalanan sejarahnya.

Hal ini yang dibedah dalam buku  “Neo Kolonialisme AS Di Asia, Perspektif Indonesia”. Para penulis adalah mayoritas memiliki latar belakang wartawan.

Peranan Amerika Serikat (AS) yang menggurita sejak berakhirnya Perang Dunia II, berlanjut ke era Perang Dingin hingga berakhir, ternyata berlanjut sampai saat ini. Kawasan Asia (Pasifik) menjadi tumpuan harapan besar di masa kini dan mendatang. Itulah yang menjadi cengkeraman AS lewat berbagai strateginya, sekutunya, dan instrumen internasional lainnya guna tetap memiliki pengaruh kuat di Asia, termasuk Indonesia. 

Buku ini mengupas dan disajikan secara apik dari berbagai kawasan strategis di Asia khususnya dan wilayah lain umumnya. 


Harga : Rp120.000,- (Promo untuk 50 orang pertama)

Harga : Rp100.000,- (Khusus Mahasiswa) 


Untuk pemesanan, hubungi :

+62 858-1493-9535 (Nesya Aulia)

+62 812-9282-369 (Rusman Rusli)



#SAYAINDONESIA

#BerbagiKebaikan

#Indonesia

DARI DOMPET RAKYAT KE AMPLOP DEWAN



Dulu, pemilihan kepala daerah ibarat drama Pak Saloi. Penuh intrik, bisik-bisik, dan amplop ajaib. Para anggota dewan dikarantina, bukan karena takut virus, tapi takut “tergoda” janji surga dari calon kepala daerah. Rakyat? Hanya bisa menonton dari pagar sambil meraba-raba, siapa yang nanti akan memimpin desa, kota, atau provinsi mereka. Sistem ini dianggap mahal, penuh politik uang. Maka, kita beralih ke one man one vote. 


Namun, one man one vote ternyata bukan solusi, tapi babak baru drama politik. Kali ini rakyat ikut menikmati, eh, maksudnya “terlibat.” Amplop jalan-jalan, janji manis berseliweran, dan pesta demokrasi berubah jadi pesta biaya. Biaya politik melonjak ke level “mahal tak terperi.” Solusinya? Kembali ke sistem lama, katanya. Dewan lagi yang milih. Amplop pun bersorak riang. “Kami kembali ke habitat asli!” 


Presiden Prabowo mengusulkan wacana revolusioner, biarkan DPRD saja yang memilih. Alasan klasik? Biaya. Tapi, seolah lupa sejarah, kita sudah tahu ending ceritanya. Amplop kembali merajalela di ruang-ruang tertutup. Kedaulatan rakyat? Ya sudah, biar parkir dulu. 


Titi Anggraini dari UI menyebut ide ini sebagai “teater amplop jilid dua.” Memang, katanya, biayanya mungkin lebih murah di atas kertas. Tapi politik uang? Jangan khawatir, tetap ada kok, tapi eksklusif untuk politisi. Transparansi? Ah, itu kan konsep absurd buat ruang gelap. 


Dulu, ketika pemilihan oleh DPRD, rakyat protes karena yang terpilih sering kali bukan pilihan mereka. Beberapa kantor DPRD bahkan dirusak. Tapi sekarang, meskipun rakyat memilih langsung, tetap banyak yang golput. Kenapa? Karena calon-calon yang disodorkan partai sering kali lebih mirip “pilihan darurat” ketimbang pemimpin masa depan. 


Titi bilang, yang perlu dibenahi bukan sistemnya, tapi integritas partai politik. Bagaimana rakyat bisa percaya kalau partai masih sibuk dengan urusan internal dan, ya, amplop lagi? 


Titi punya usul menarik, kurangi pemborosan! Katanya, KPU harus berhenti bergaya seperti CEO perusahaan unicorn dengan jet pribadi dan mobil dinas lebih dari satu. Efisiensi itu sederhana, katanya. Kurangi yang tidak penting, dan benahi dana kampanye. Amplop harusnya kembali ke fungsinya semula, tempat menyimpan uang, bukan alat tukar suara. 


Wacana ini menunjukkan satu hal, politik kita tidak pernah lepas dari siklus amplop dan janji. Mau langsung atau tidak langsung, yang jadi masalah bukan sistemnya, tapi orang-orang di dalamnya. Sejarah seolah menertawakan kita. Apa pun sistemnya, ujung-ujungnya tetap dompet yang berbicara. 


Sementara itu, rakyat? Mereka tetap jadi penonton atau sudah tak peduli. "Kak ati kitaklah pe..pe..," (Terserah Kalian, kawan) kata budak Pontianak. 


Penulis : Rosadi Jamani (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama - Kalimantan Barat)



#SAYAINDONESIA

#BerbagiKebaikan

#Indonesia

KOTAK KOSONG MENANG, KEHINAAN PERADABAN MANUSIA


Ada cerita lucu sekaligus tragis di Pilkada Pangkalpinang 2024. Kotak kosong, alias kandidat yang literally nothing, tanpa visi, misi, program kerja, atau janji manis, berhasil menghempaskan pasangan Maulan Aklil dan Masagus Hakim ke jurang kekalahan. Dengan 61% suara untuk kotak kosong versus 40% untuk manusia. Kita sedang menyaksikan babak baru kehinaan peradaban manusia. 

Sambil menikmati kopi liberika khas Kayong Utara, yok kita bahas kegilaan Pilkada 2024. Otak kosong, eh salah kotak kosong bisa mengalahkan manusia. Sebagai manusia, asli saya malu, wak! 

Kotak kosong itu nggak punya apa-apa. Bukan cuma nggak ada modal kampanye, dia bahkan nggak punya akun Instagram untuk pamer kegiatan fiktif. Tapi lihatlah, dia menang telak! Sementara pasangan calon manusia yang diusung enam partai politik besar—PDI-P, PKB, PPP, Demokrat, PAN, dan PKS—dengan dana kampanye entah berapa triliun, kalah oleh kekosongan. Ya, benar-benar kosong. Kalau ini bukan satire kehidupan politik, lalu apa lagi? 

Hasil ini mengajarkan kita satu hal penting, masyarakat sudah muak. Saking muaknya, mereka lebih percaya benda mati ketimbang manusia hidup. Ini bukan sekadar kritik, ini tamparan super keras. Bayangkan, enam partai yang biasanya saling cekik-cekikan di parlemen, akhirnya kompak mendukung satu pasangan calon. Namun, kehebatannya hanya sampai di situ, menjadi bahan tertawaan rakyat. 

Apakah ini bentuk pemberontakan? Apakah mereka sedang mencoba membuktikan bahwa benda mati lebih bisa diandalkan dari pada politikus? Atau ini hanya eksperimen sosial massal yang tidak sengaja viral? Sejujurnya, ini seperti adegan politik yang gagal di peradaban negeri ini. 

Bayangkan kalau kotak kosong ini dilantik. Pidatonya bagaimana? “........” (sunyi). Program kerja? Tidak ada. Prestasi? Lebih nihil dari pada zodiak kamu yang nggak pernah sinkron sama ramalan cinta. Tapi hei, setidaknya dia tidak akan melakukan korupsi. Tidak ada SK palsu. Tidak ada pencitraan. Dan yang pasti, dia tidak akan pernah kena kasus chat mesra. 

Kemenangan kotak kosong adalah bukti bahwa manusia perlu introspeksi. Jika benda mati saja bisa menang melawan manusia, bukankah saatnya kita semua mengevaluasi keberadaan kita sebagai makhluk berpikir? Pilkada Pangkalpinang ini bukan sekadar tragedi politik, ini adalah pengingat bahwa kita mungkin sedang mengalami downgrade moral dan intelektual sebagai spesies. 

Selamat untuk kotak kosong. Semoga tidak lupa diri dan tetap menjadi kosong seperti sekarang. Sementara itu, untuk kita para manusia, mari berhenti sejenak, ambil napas, dan merenung: Apa yang salah dengan kita? 

Penulis : Rosadi Jamani (Dosen Universitas Nahdlatul Ulama - Kalimantan Barat)



#SAYAINDONESIA
#BerbagiKebaikan
#PolitikKonyol

Lembaga Swadaya Masyarakat SAYA INDONESIA