Subkultur Bunglon Cina

 


Kalau mau melihat karakteristik geografis Asia Tenggara termasuk Indonesia, sejatinya dibentuk oleh hubungan timbal-balik dua kekuatan sejarah : Migrasi dan Kolonialisme

Migrasi orang-orang Cina, India, Sri Lanka, dan Persia, ke tempat dan masyarakat baru, berarti kesediaan para imigran itu untuk mendekati bentuk-bentuk budaya lokal yang dominan. Jadi gagasan dasarnya bukan untuk mengekspor sebuah budaya asing ke negeri barunya. 

Lanskap kawasan Asia Tenggara seperti inilah, yang kemudian dipelajari oleh para proto(embrio) pengusaha Taipan. Bahwa kemajuan ekonomi tak mungkin tanpa integrasi ke dalam elit-elit lokal.

Fakta ini justru menarik, seperti digambarkan Joe Stodwell dalam bukunya Asian Godfathers. Bahwa etnis Cina yang secara individua ambisius dan kemaruk, malah dengan gampang lebih bersedia untuk melakukan akulturasi dengan elit dan budaya lokal. Karena adanya dorongan hasrat yang bersifat non-budaya, yaitu untuk meraup kekayaan materi yang sebesar-besarnya. 

Hanya saja, bedanya dengan etnik Cina yang berdatangan ke Asia Tenggara bukan karena ambisi ekonomi, kesediaan kaum Taipan untuk akulturasi dengan budaya lain lebih didasarkan pada pertimnbangan keuntungan bisnis. Bukan murni untuk meleburkan diri dengan warga masyarakat setempat. 

Contohnya, begitu orang-orang Eropa seperti Inggris, Amerika, Belanda, dan Portugis berdatangan ke Asia Tenggara,para imigran ambisius yang merupakan cikal-bakal para Taipan ini, kemudian berakulturasi dengan budaya Barat. Mencoba mensejajarkan diri  dengan orang-orang Eropa daripada Asia. Karena para kolonialis Eropa dan Amerika itu lebih mewakili kekuatan-kekuatan dominan negara. 

Misal, para imigran ambisius cikal bakal godfather Taipan ini, yang semula sudah melakukan akulturasi dengan raja-raja Jawa, dengan bekerja pada rumah-tangga atau menikahi putri-putri aristokrat Jawa, kemudian berpaling ke kolonialis Belanda begitu mulai menjajah Indonesia. 

Boleh jadi, inilah yang dimaksud Stodwell dengan subkultur Bunglon yang melekat pada para proto Taipan Cina itu. Dari sinilah, pola hubungan migrasi antara pendatang dan warga lokal, mulai dirusak, dan disetel ulang oleh para kolonialis. 

Kesediaan warga etnis Cina imigran yang semula bersedia melakukan asimilasi dengan budaya lokal karena memang mereka adalah pendatang, sistem kolonial justru menciptakan dis-harmoni horizontal antar etnik lokal dan etnik pendatang, yang dalam hal ini, Cina. 

Belanda di Indonesia misalnya, kegiatan politik dan ekonomi dipisahkan secara paksa. Kaum priyayi dan aristokrat dijadikan aparat pemerintah Belanda, sebagai perantara antara penjajah dengan rakyat. Sebaliknya, peran kunci ekonomi diberikan kepada para imgran Cina ambisius sebagai pengumpul pajak dan monopoli perdagangan. Disamping itu, para proto Taipan ini kemudian dimuliakan hidupnya sebagai para pemimpin komunitas Cina. 

Maka inilah embrio lahirnya para godfather Taipan. 

Satu lagi fakta menarik. para imigran ambisius Cina yang kelak menjelma jadi godfather Taipan itu, sebagian besar dimotori oleh  orang-orang blasteran Cina  Utara dan Jawa. Inilah yang kelak disebut Cina peranakan. Para kapitan Cina seperti Soe Beng Kong misalnya, selain bertugas agar penduduk Cina patuh pada Belanda, mereka juga ikut tender untuk lisensi pengumpulan pajak, Inilah yang kala itu paling mudah untuk meraup banyak uang. Yang kemudian diperkuat dengan pemberian wewenang untuk mengelola manajemen mempekerjakan buruh imigran Cina yang sejak pertengahan abadi ke-19, mulai membanjiri Asia tenggara. 

Dan di atas semua itu, sejak era kolonial, para Godfather Taipan menjadi orang yang mewakli kepentingan komunitas Cina di hadapan para pemegang otoritas politik tertinggi. Baik semasa kolonial, maupun saat ini ketika otoritas politik tertinggi berada di tangan orang-orang pribumi. (09/05/2022)


Penulis : DR. Hendrajit (Direktur Eksekutif Global Future Institute)

#SAYAINDONESIA
#BerbagiKebaikan
#Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lembaga Swadaya Masyarakat SAYA INDONESIA